Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi dan Siapa yang termasuk Inklusi? Pendidikan Inklusi adalah sebuah pendekatan pendidikan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda, meliputi: karakteristik, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya.
Pola pikir ini selanjutnya berkembang
dengan proses masuknya konsep tersebut dalam kurikulum di satuan pendidikan sehingga
pendidikan inklusif menjadi sebuah sistem layanan pendidikan yang memberi kesempatan
bagi setiap peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Permendiknas Nomor 70 Tahun
2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa menyatakan bahwa pengertian pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersamasama dengan peserta didik pada umumnya.
Adapun Tujuan pendidikan
inklusif adalah: a) untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; b)
Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak
diskriminatif bagi semua peserta didik.
Kunci utama yang menjadi
prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif adalah bahwa semua peserta didik tanpa
terkecuali dapat belajar dan perbedaan menjadi kekuatan dalam mengembangkan
potensinya. Prinsip umum lainnya dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah
kehadiran peserta didik berkebutuhan khusus di kelas sehingga bisa
berpartisipasi dan diterima di lingkungan satuan pendidikan.
Dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif, penerapan kurikulum menggunakan prinsip fleksibilitas sehingga bisa
diadaptasi sesuai dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik. Prinsip
adaptasi berarti dalam melaksanakan pendidikan inklusif, satuan pendidikan
harus memperhatikan tiga dimensi dalam melakukan proses penyesuaian, yaitu:
kurikulum, instruksional, dan lingkungan belajar (ekologis).
Apa saja Kebijakan
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus ?
a.
Adaptasi kurikulum terkait denganpenyesuaian isi, materi atau kompetensi yang
dipelajari peserta didik. Pada adaptasi kurikulum guru dapat melakukan penambahan
keterampilan untuk mengganti agar dapat menguasai kompetensi yang diharapkan
atau mengganti dengan kompetensi lain yang setara. Adaptasi lain yang dapat dilakukan
guru adalah dengan melakukan penyederhanaan kompetensi yang hendak dicapai.
Proses penyederhanaan tergantung pada kemampuan awal, kondisi, dan modalitas
belajar peserta didik berdasarkan hasil asesmen. Dalam proses adaptasi kurikulum
satuan pendidikan harus:
1)
fleksibel dan inovatif;
2)
memastikan perkembangan kebijakan sekolah inklusif;
3)
membuat penyesuaian kurikulum, membuat perencanaan untuk seluruh kelas,
menetapkan tujuan pengajaran yang terbuka dan jelas, menggunakan alternatif
metode pengajaran, menggunakan teknologi yang tepat, dan membuat persiapan
terlebih dahulu;
4)
memastikan kemudahan lingkungan fisik dan mengembangkan lingkungan satuan pendidikan
yang mendukung; dan
5)
mengembangkan kerja sama dengan bekerja bersama dalam tim.
b.
Adaptasi pembelajaran terkait cara,metode, dan strategi yang dapat digunakanguru
agar peserta didik menguasai materiatau kompetensi yang ditargetkan. Dalam hal
ini guru diberikan keleluasaan dalam melakukan penyesuaian proses pembelajaran
di kelas yang beragam dengan mempertimbangkan kondisi peserta didik
berkebutuhan khusus.
c.
Adaptasi lingkungan belajar berkaitan dengan pengaturan suasana pembelajaran (dimana,
kapan, dan bersama siapa pembelajaran dilakukan) termasuk ketersediaan alat
bantu dan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Penerapan adaptasi kurikulum
dan instruksional dapat dilakukan dengan model:
·
Eskalasi/akselerasi: program percepatan dan
perluasan dalam hal waktu dan penguasaan materi. Model ini terutama diterapkan
bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, serta
memiliki kecepatan belajar yang luar biasa.
·
Duplikasi: Model duplikasi artinya kurikulum yang
digunakan untuk PDBK sama dengan kurikulum yang digunakan peserta didik pada
umumnya yang non-PDBK. Mungkin hambatan yang dialami tidak terlalu berat sehingga
masih dapat mengikuti kurikulum yang berlaku di satuan pendidikan tersebut.
·
Simplikasi atau modifikasi: kurikulum umum dimodifikasi,
disederhanakan tanpa harus menghilangkan substansi, dan disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan PDBK. Modifikasi dan penyederhanaan kurikulum dapat
dilakukan dalam salah satu atau lebih dari hal-hal berikut, yaitu tujuan, isi,
metode dan cara penilaian.
Substitusi: beberapa bagian dari kurikulum umum
diganti dengan sesuatu yang kurang lebih setara. Contoh kegiatan menggambar
tidak perlu diberikan bagi anak dengan hambatan penglihatan, diganti dengan
kegiatan lain yang setara, misalnya menyanyi, atau membuat patung dari bahan
yang lunak. Contoh lain anak dengan hambatan pendengaran, mungkin tidak perlu
mengikuti pelajaran ‘listening comprehension’ dan dapat digantikan dengan
kegiatan lain yang setara, misalnya mengarang, atau menulis cerita.
·
Omisi: beberapa aspek tertentu kurikulum umum
sebagian besar ditiadakan menyesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan
peserta didik berkebutuhan khusus. Mereka dapat dibuatkan kurikulum khusus yang
bersifat individual berdasarkan hasil identifikasi dan asesmen.
Siapa yang termasuk Inklusi
? Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat 2, 3, dan 4 mendefinisikan
tentang siapa yang termasuk Inklusi atau anak berkebutuhan khusus, yakni
sebagai (1) anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial; (2) anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa;
dan (3) anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
sehingga mereka semua berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Selain cakupan tersebut di
atas, konsep PDBK dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu PDBK yang bersifat
sementara (temporer) dan PDBK yang bersifat menetap (permanent). PDBK yang bersifat
sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
disebabkan oleh faktorfaktor eksternal. PDBK yang bersifat menetap atau
permanent adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan
yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, antara lain:
anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan perkembangan
intelektual.
Untuk memudahkan guru mengetahui
siapa yang termasuk inkusi atau peserta didik berkebutuhan berikut ini katagori
peserta didik yang ternasuk berkebutuhan khusus yakni sebagai berikut.
1. Peserta didik dengan
hambatan penglihatan/Tunanetra
Seseorang
disebut mengalami hambatan penglihatan apabila setelah diukur dengan menggunakan
alat ukur ketajaman penglihatan menghasilkan skor 20/200 feet atau kurang dari
itu, dan/atau memiliki lapang pandang kurang dari 20 derajat. Anak dengan
hambatan penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan
sedemikian rupa sehingga membutuhkan layanan khusus dalam pendidikan maupun
kehidupannya. Berdasarkan ketajaman penglihatannya tunanetra dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu anak yang buta total (totally blind) dan anak kurang lihat
(low vision). Keduanya memiliki kebutuhan belajar yang berbeda dan membutuhkan
layanan yang berbeda pula. peserta didik dengan hambatan penglihatan biasanya
memiliki tingkat perkembangan intelektual yang wajar sehingga dapat mengikuti
pendidikan dengan kurikulum standar, tetapi harus dilakukan adaptasi atau penyesuaian.
2. Peserta didik dengan
hambatan pendengaran/Tunarungu
Peserta
didik dengan hambatan pendengaran adalah suatu kondisi kerusakan atau tidak berfungsinya
pendengaran dalam berbagai tingkatan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan
bahasa. Peserta didik dengan hambatan pendengaran apabila diukur dengan menggunakan
audiometer menghasilkan skor 91 dB atau lebih besar, disebut tuli, dan apabila menghasilkan
27 - 90 db disebut kurang dengar (hard of hearing). Walaupun telah diberikan pertolongan
dengan alat bantu dengar, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus.
Peserta didik dengan hambatan pendengaran secara umum tidak mengalami hambatan
intelektual, tetapi mengalami keterlambatan bahasa dan hambatan komunikasi.
Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dilakukan adaptasi, terutama
untuk mengatasi kemiskinan bahasa melalui pemerolehan bahasa lebih dahulu.
3. Peserta didik dengan
hambatan intelektual/Tunagrahita
Peserta
didik dengan hambatan intelektual (intellectual disability) adalah anak yang secara
nyata mengalami hambatan atau keterbelakangan intelektual sehingga mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun sosialnya. Seseorang
dikatakan mengalami hambata intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu:
a. keterlambatan fungsi kecerdasan secara umum atau perkembangan kecerdasan mentalnya
jauh di bawah usia kronologis; b. hambatan dalam perilaku sosial/adaptif; dan c.
terjadi pada usia perkembangan maksimal sampai usia 18 tahun. Tingkat
kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut
dengan IQ (intelligence quitient).
Peserta
didik dengan hambatan intelektual dikelompokkan menjadi 4 (empat) tingkatan
sebagai berikut:
a.
Peserta didik dengan hambatan intelektual ringan (IQ 70-55).
b.
Peserta didik dengan hambatan intelektual sedang (IQ 55-40).
c.
Peserta didik dengan hambatan intelektual berat (IQ 40-25).
d.
Peserta didik dengan hambatan intelektual sangat berat (IQ <25).
Dampak
yang ditimbulkan dari peserta didik dengan hambatan intelektual adalah gangguan
komunikasi, kemandirian, dan penyesuaian sosial. Sementara secara kognitif
peserta didik dengan hambatan intelektual akan menimbulkan dampak sebagai
berikut: a. sulit mempelajari tugas-tugas yang sederhana sekalipun; b. hambatan
dalam ingatan jangka pendek dan jangka panjang akibatnya mereka kesulitan
mengingat, menemukan, dan mengurutkan dengan benar; dan c. tidak dapat menggeneralisasi
(Smith, 2004). Termasuk kategori peserta didik dengan hambatan intelektual
adalah mereka yang mengalami down syndrome. Anak dengan hambatan
intelektual
termasuk down syndrome tidak memungkinkan dapat mengikuti tuntutan kurikulum
standar sesuai kelompok usianya, dan karenanya dibutuhkan kurikulum khusus.
Kurikulum
pendidikan yang dibutuhkan bagi mereka lebih bersifat pendidikan kemandirian dan
pengetahuan akademik yang bersifat dasar dan fungsional.
4. Peserta didik dengan
hambatan fisik motorik/Tunadaksa
Peserta
didik dengan hambatan fisik motoric adalah anak yang mengalami hambatan yang bersifat
menetap pada anggota gerak (tulang, sendi, otot). Mereka mengalami gangguan gerak
karena kelayuhan otot, atau gangguan fungsi syaraf otak (Cerebral Palsy),
dan/atau kelumpuhan pada anggota tubuh (Polio). Seseorang disebut peserta didik
dengan hambatan fisik motorik jika mengalami kondisi sebagai berikut.
a.
Cerebral Palcy (CP): mengalami gangguan motorik karena ketidak-berfungsinya bagian
pada otak (kelayuhan pada otak) tampak dalam kondisi spastic, athetoid, ataxia,
rigit, dan tremor.
b.
Polio: kelumpuhan pada anggota tubuh karena penyakit atau virus pada masa kandungan
atau kanak-kanak sehingga menyebabkan gangguan perkembangan.
c.
Amputasi: kehilangan salah satu atau lebih anggota tubuh karena diamputasi dan
(biasanya) digantikan anggota tubuh tiruan.
d.
Muscular Distrophy Progresive: kelainan gerak yang diakibatkan karena kelainan otot
yang bersifat progressif (semakin lama semakin berat).
5. Peserta didik dengan
hambatan emosi dan perilaku
Anak
dengan hambatan emosi dan perilaku menurut IDEA memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
ketidakmampuan belajar tetapi tidak terkait dengan masalah intelektual,
sensori, atau faktor kesehatan;
2.
ketidakmampuan membangun hubungan interpersonal yang baik dengan teman sebaya
maupun guru;
3.
ketidakselarasan pola perilaku maupun perasaan dalam situasi normal;
4.
menunjukkan ketidakbahagiaan dan depresi; dan
5.
cenderung menunjukkan tanda kecemasan yang berkaitan dengan masalah personal maupun
problem sekolah.
Peserta
didik dengan hambatan emosi dan perilaku secara umum tidak mengalami hambatan
intelektual sehingga dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus
dengan adaptasi atau penyesuaian.
6. Peserta didik lamban belajar (slow learner)
Lamban
belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di
bawah rata-rata anak sebayanya, tetapi tidak termasuk kategori peserta didik
dengan hambatan intelektual (biasanya memiliki IQ antara 70- 90). Dalam beberapa
hal anak ini mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan dan kemampuan untuk beradaptasi, tetapi lebih baik dibanding dengan peserta
didik dengan hambatan intelektual. Mereka membutuhkan waktu belajar lebih lama dibandingkan
dengan sebayanya, sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Mereka
dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama.
Adaptasi kurikulum sangat diperlukan untuk
mereka.
7. Peserta didik
berkesulitan belajar spesifik (specific learning disability)
Seseorang
disebut mengalami kesulitan belajar apabila setelah diukur dengan menggunakan tes
kecerdasan menghasilkan skor IQ rata-rata atau di atas rata-rata, tetapi
memperlihatkan hasil belajar (pada bidang tertentu) berada jauh di bawah
perkembangan usia dan kemampuan mentalnya. Dalam pelayanan pendidikan di sekolah
reguler, sering kali guru dihadapkan pada siswa yang mengalami problem belajar atau
kesulitan belajar. Salah satu kelompok kecil siswa yang termasuk dalam
klasifikasi tersebut adalah kelompok anak yang berkesulitan belajar spesifik
atau disebut specific learning disability. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah
individu yang mengalami gangguan dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi
sistem syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam
kegagalankegagalan nyata dalam: pemahaman, gangguan mendengarkan, berbicara,
membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial.
Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan
emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan, lingkungan,
budaya, ekonomi, ataupun kesalahan metode mengajar yang dilakukan oleh guru.
Secara
garis besar kelompok siswa berkesulitan belajar dapat dibagi dua. Pertama, yang
berkaitan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan
motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial.
Kedua, yang berkaitan dengan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) sesuai
dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi kedua kelompok ini tidak dapat
dipisahkan secara tegas karena ada keterkaitan di antara keduanya (Kirk dan Gallagher,
1986). Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dengan penyesuaian
(kurikulum adaptasi).
8. Peserta didik cerdas
istimewa dan bakat istimewa
Seseorang
disebut cerdas istimewa dan/atau bakat istimewa apabila setelah diukur dengan
menggunakan tes kecerdasan baku menghasilkan skor IQ di atas normal, mereka juga
memiliki kreativitas dan task commitment di atas rata-rata. Seorang disebut
memiliki bakat istimewa apabila bakat tersebut sangat menonjol dalam bidang
akademik tertentu, olahraga, seni dan/atau kepemimpinan melebihi tingkat
perkembangan usia teman sebaya. Menurut Renzulli (1978, 2005) Gifted and
talented children adalah peserta didik yang mempunyai kelebihan dalam tiga
komponen yakni mempunyai kapasitas intelektual di atas rata-rata yang ditandai
dengan IQ (skala Weschler) di atas 130, memiliki motivasi dan komitmen terhadap
tugas yang tinggi, serta memiliki kreativitas yang tinggi. Gagne menitikberatkan
konsepsi keberbakatan istimewa sebagai hasil interaksi antara factor keturunan
(genetic) dan faktor tumbuh kembang (developmental) yang sangat dipengaruhi
oleh lingkungan.
Dalam
kegiatan belajar, peserta didik berbakat dapat dengan cepat menguasai materi pelajaran
di sekolah. Namun, di sisi lain, mereka cenderung cepat bosan dan frustrasi
karena kurangnya tantangan yang diterima di sekolah. Peserta didik berbakat
juga mempunyai minat tertentu yang menjadi fokus perhatiannya, tapi fokus dan
perhatiannya terhadap minat ini membuat peserta didik berbakat penasaran dan
terkadang menjadi tidak peduli dengan berbagai aktivitas lainnya dalam proses
belajarmengajar di kelas.
Cara
peserta didik berbakat berinteraksi juga berbeda dengan peserta didik lainnya.
Mereka cenderung lebih senang diskusi dengan orang dewasa, senang memberikan
kritik terhadap pertanyaan daripada menjawab pertanyaan yang diajukan rekannya.
Selain itu, peserta didik berbakat juga cenderung lebih rapuh emosionalnya,
merasa teralienasi karena dirinya berbeda dengan peserta didik lain di
lingkungan sosialnya. Peserta didik berbakat juga mempunyai selera humor yang tinggi,
bahkan terkadang dengan mengolokolok dirinya sendiri. Berbagai perbedaan yang
dimiliki peserta didik berbakat ini membutuhkan perlakuan khusus dari guru di
sekolah dan lingkungan kondusif yang memahami perbedaan yang dimilikinya.
Model
layanan bagi peserta didik berbakat ini bisa menggunakan diferensiasi
kurikulum, yaitu: a) Pengayaan (enrichment), berupa tawaran ekstra materi
pelajaran yang dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan; b) Pemadatan atau
(compacting), berupa pemadatan materi pelajaran reguler. Atau dengan kata lain
bahwa pelajaran yang diberikan tidak perlu dilakukan pengulanganpengulangan
yang memang diperlukan sebagai latihan bagi peserta didik normal; dan c) Paruh waktu
(part-time) dalam kelompok-plus atau kelas-plus (pull-out). Kelas itu diadakan ekstra
aktivitas atau program yang menantang khusus untuk peserta didik gifted.
Kegiatan dalam kelompok/kelas plus ini dilakukan beberapa jam dalam satu
minggu. Bila peserta didik gifted tersebut membutuhkan kegiatan yang menantang guna memenuhi kebutuhan keberbakatannya,
ia dapat sementara waktu keluar dari kelasnya (pull-out), masuk ke dalam kelompok-plus
atau kelas-plus tersebut, bersama-sama dengan peserta didik gifted lainnya
dalam berbagai usia mengerjakan berbagai proyek yang diminatinya. Kelas-kelas seperti
ini sering juga disebut Kangarooclass; dan d) Percepatan (acceleration), yaitu berupa
lompat kelas (Class skipping). Namun percepatan ini membutuhkan beberapa pertimbangan
berupa: kematangan social emosional, kapasitas intelektual, prestasi, adanya
lompatan perkembangan didaktik, persetujuan orang tua, dan penerimaan guru.
9. Peserta didik autistic
spectrum disorders (ASD)
Autistic
Spectrum Disorders (ASD) dari kata auto, yang berarti sendiri. ASD sering
diartikan seorang anak yang hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan
sebuah hambatan perkembangan yang dialami seseorang dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan di mana penyandangnya memiliki kekhasan utama, yaitu hambatan
interaksi, komunikasi, dan perilaku. Berbeda dari bentuk kebutuhan khusus lain
yang sering diklasifikasikan berdasar berat dan ringan, autisme
diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang dipayungi dengan istilah
spectrum. Masing-masing spectrum memiliki karakter yang unik. Kata kunci pada
bentuk-bentuk autis adalah spectrum (Friend, 2003; Yapko, 2004), di mana mengimplikasikan
kesamaan karakter, tetapi berbeda variasi pada keterampilan yang ditunjukkan.
Spectrum dari autism tersebut adalah autistic disorder atau autism, childhood disintegrative
children, Asperger syndrome, Rett’s syndrome, Pervasive developmental disorder-not
otherwise specified (PDD-NOS).
Seseorang
dikatakan autis jika memiliki serangkaian gejala perilaku yang berbeda pada hambatan
dalam tiga ranah perkembangan berikut: a) Hambatan dalam interaksi sosial
secara resiprokal/ berbalasan; b) Hambatan dalam komunikasi baik verbal maupun
nonverbal, termasuk di dalamnya permasalahan dalam aktivitas imajinasi; c)
Hambatan dalam perilaku, termasuk didalamnya keterbatasan dalam serangkaian aktivitas
dan minat.
Implikasi
dari hambatan komunikasi, interaksi sosial dan perilaku tersebut mengakibatkan berperilaku
tidak sesuai dengan situasi social yang sedang berlangsung, tidak adanya kontak
mata, permasalahan pada pemusatan perhatian, tidak hadirnya gesture untuk
menjembatani komunikasi, dan kesulitan menginterpretasikan gesture orang lain.
Sementara itu, dampak dari hambatan komunikasi adalah mereka gagal memahami
makna dan tujuan komunikasi sehingga kesulitan mengembangkan makna bicara untuk
menginisiasi dan mempertahankan topik percakapan dan bergabung dengan perasaan
dan ide orang lain dalam sebuah percakapan. Hambatan perilaku sering ditunjukkan
dengan gerakan stereotype dan berulang di mana aktivitas tersebut menimbulkan
ketidaknyamanan bagi orang lain, sebab ekspresi yang mereka tunjukkan tidak lazim.
Keterbatasan
yang dialami anak autis menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk mengikuti kurikulum
standar. Mereka membutuhkan kurikulum khusus yang disusun berdasarkan hasil
asesmen.
10. Peserta didik attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD)
ADHD
Istilah hiperaktif yang banyak dikenal masyarakat sering muncul dengan istilah ADHD
(attention deficit hiperactivity disorder). Istilah tersebut menunjuk kepada
anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku yang biasanya ditandai dengan
satu atau lebih dari tiga ciri berikut: a) kesulitan melakukankonsentrasi atau
mencurahkan perhatian dalam waktu yang relatif lama; b) adanya gerakan yang berlebihan
atau kesulitan untuk diam; dan c) perilaku impulsif, yaitu kecenderungan untuk bertindak
sekehendak hatinya.
Peserta
didik attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) ada yang sering mengalami
gangguan perhatian, misalnya ditandai dengan perilaku melamun, mudah lupa,
sembrono, tak acuh, gagal dalam penyelesaian tugas, menghindari tugas berat.
Hiperaktivitas dapat ditandai dengan adanya perilaku gelisah, berdiri dari duduk,
sulit diam, susah mengendalikan diri, bicara berlebihan, berlari, memanjat
tidak pada tempat dan waktunya. Impulsivitas, di antaranya dapat dilihat dari
perilaku sebagi berikut: menjawab sebelum pertanyaan selesai, kesulitan dalam
hal menunggu giliran, atau suka mengganggu orang lain. Selain itu, peserta didik ADHD juga mudah terganggu, terlalu aktif
dan impulsif dalam perilaku mereka.
Demikian uaraian tentang Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi
dan Siapa yang termasuk Inklusi. Semoga ada manfaatnya untuk khasanan pengetahuan
Anda.
Terima kasih telah berbagi informasi yang bermanfaat
BalasHapus