Perbedaan Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi dalam Dunia Pendidikan

Perbedaan Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi dalam Dunia Pendidikan


Perbedaan Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi dalam Dunia Pendidikan. Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, bilamana ada suatu pelanggaran, tentunya sesuatu harus terjadi. Untuk itu kita perlu meninjau ulangtindakan penegakan peraturan atau keyakinan elas/sekolah kita selama ini. Tindakanterhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi.

 

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

 

Sebelum kita membahas lebih mendalam tentang penerapan Restitusi, kita perlu bertanya dahulu, adakah perbedaan antara hukuman dan  konsekuensi? Bila sama, di mana persamaannya? Bila berbeda, bagaimana perbedaannya? Di bawah ini Anda akan diberikan suatu gambaran perbedaan antara Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi itu sendiri.

 

Bila kita melihat bagan di bawah ini, kata disiplin tanpa tambahan kata ‘positif’ di belakangnya, sesungguhnya sudah merupakan identitas sukses dan hukuman merupakan identitas gagal. Disiplin yang sudah bermakna positif terbagi dua bagian yaitu Disiplin dalam bentuk Konsekuensi, dan Disiplin dalam bentuk Restitusi,

 

Perbedaan Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi

Hukuman

Konsekuensi

Restitusi

1.   Sesuatu yang menyakitkan harus terjadi

 

2.   Tidak nyaman untuk murid/anak untuk jangka waktu panjang.

 

3.   ‘Korban’ mendapatkan keadilan

 

4.   Murid/anak akan tersakiti.

 

 

5.   Perilaku pasif-agresif meningkat

 

 

 

6.   Sistem tidak akan berjalan bila murid tidak takut.

 

 

7.   Berlaku hanya pada sebuah institusi; tidak berlanjut pada kehidupan nyata.

 

 

8.   “Peraturannya adalah….kamu harus..”

 

 

 

9.   Murid/anak membenci peraturan.

 


10.  NEGATIF

 

11.  “Awas kalau dilakukan lagi ya, nanti awas kamu”  

 

 

12.  Mode Paksaan

13.  Mendorong menyalahkan diri

14.  Konsep Diri Buruk

15.  Murid/anak belajar menyembunyikan kesalahan

16.  Mencoba mengontrol anak dengan penguatan negatif (membayar impas kesalahan)

17.  Dampak pada Murid: Marah, merasa bersalah, rendah diri, mengasingkan diri.

 

18.  Tiba-tiba, tidak diharapkan, atau sangat melukai.

19.  Dibuat guru

 


20.  Menyakitkan, guru menjalani konsekuensi dengan menyalahkan, mengkritik, menyindir, merendahkan.

 

1.   Sesuatu harus terjadi

 

2.   Tidak nyaman untuk murid/anak untuk jangka waktu pendek.

 

 

3.   ‘Korban’ bisa diabaikan.

 

 

4.   Murid/anak dibuat tidak nyaman.

 

 

5.   Penguatan hanya bertahan dalam jangka waktu pendek.

 

6.   Memerlukan monitoring dan supervisi terus menerus dari guru.

 

7.   Membantu penerapan mengikuti peraturan dalam masyarakat.

  

8.   “Apa peraturannya?” “Mampukah kamu melakukannya? Terima kasih”.

 

9.       Murid/anak menghormati peraturan.

 


10.    NETRAL

 

11.    “Lakukan apa yang saya katakan”

 

 

 

12.    Stimulus-Respon

13.    Mendorong kepatuhan

14.    Konsep Diri Baik

15.    Murid/anak belajar taat peraturan.

16.    Mencoba mengontrol anak dengan penguatan positif

 

17.    Kehilangan hak, waktu jeda seorang diri (timeout), penahanan (detention).

18.    Sudah diketahui, masuk akal

 

19.    Dibuat oleh guru dan murid/anak


20.    Membantu, guru menyatakan peraturan, melakukan peringatan, dan menerapkan konsekuensi.

 

1.   Restitusi merupakan pilihan

 

2.   Menguatkan untuk murid/anak dalam jangka waktu panjang.

 

 

3.   ‘Korban’ mendapatkan ganti.

 

 

4.   Murid/anak mendapatkan penguatan.

 

5.   Masalah terpecahkan.

 

 

 

6.   Murid belajar bertanggung  jawab untuk perilakunya.

 

 

7.   Fokus pada pemecahan masalah dalam jangka waktu panjang.

 

8.   “Apa yang kamu yakini?” “Apa yang bisa kamu lakukan untuk memperbaiki masalah ini?”

 

9.   Murid/anak menghormati dirinya dan orang lain.

 

10.     POSITIF

 

11.     “Apakah hal ini yang sesungguhnya ingin kamu lakukan?”

12.     Teori Kontrol

13.     Mendorong disiplin positif

14.     Konsep Diri Kuat

15.     Murid/anak belajar memecahkan masalah.

16.     Anak paham bahwa dirinya sendiri yang pegang kendali kontrol.

17.     Murid/anak tidak kehilangan waktu, namun ersemangat untuk memperbaiki diri

 

18.     Berupa undangan untuk mengadakan restitusi

19.     Dibuat oleh murid/anak

20.     Menguatkan, guru menyebutkan keyakinan kelas, membimbing kerangka acuan berpikir restitusi murid/ anak.

 

 

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahanmereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebihkuat (Gossen; 2004). Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untukmasalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, danbagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

 

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkandirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.

 

Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya.

 

Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang.

 

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh karakternya, ketika mereka melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.

 

Di bawah ini adalah ciri-ciri restitusi yang membedakannya dengan program disiplin lainnya.

● Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

Dalam pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid yang berbuat salah akan fokus pada tindakan yang bersifat eksternal yaitu untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan, bukannya yang lebih bersifat internal yaitu pada upaya perbaikan diri. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa lega karena seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.

Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi impas.

Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap ada. Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat.

Pendekatan restitusi sebenarnya juga berhubungan dengan usaha untuk menebus kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan.

Proses pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri kita.

Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.

 

 Restitusi memperbaiki hubungan

Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan pemulihan.

Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.

 

 Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya. Misalnya mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru sarankan, mereka mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan  atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”. Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti pernah berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka...”

 

 Restitusi ‘menuntun’ untuk melihat ke dalam diri

Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti apa yang mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka:

● Kamu ingin menjadi orang seperti apa?

● Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau kamu sudah menjadi orang yang seperti itu?

● Apa yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain?

● Bagaimana kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?

● Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini?

● Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya?

 

Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.

 

Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. Murid tidak akan berbohong pada guru.

 

Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan

Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu, sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari kebutuhan apa yang sedang mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.

 

Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan adanya kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan kesenangan.

 

Restitusi diri adalah cara yang paling baik

Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari kecenderungan untuk mengomentari orang lain, menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak bahagia akan mengevaluasi orang lain.

Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula. Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri,  maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan saja, apakah Anda mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?

 

Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan

Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada penguatan karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi.

 

Restitusi menguatkan

Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar dari kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?

 

Restitusi fokus pada solusi

Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid dengan mengatakan, “Kita tidak focus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah. Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya Mari kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar dongeng dari gurunya, anak itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di pojok kelas, disuruh keluar kelas ke koridor, ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.

 

Kalau ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka dan mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita, maka mereka akan putus hubungan dengan kita.

 

Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk  menyelesaikan masalah mereka, dan berusaha mengembalikan mereka ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.

 

Demikian uraian tentang Perbedaan Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi. Semiga ada manfaatnya

 



= Baca Juga =



Tidak ada komentar

Posting Komentar

Info Kurikulum Merdeka

Info Kurikulum Merdeka
Info Kurikulum Merdeka

Search This Blog

Social Media

Facebook  Twitter  Instagram  Google News   Telegram  


































Free site counter


































Free site counter